Beberapa bulan lalu, saya menerima tugas akhir sebagai syarat kenaikan jabatan di kantor. Saya pikir tantangannya akan berkutat di coding atau sistem seperti biasa. Tapi ternyata saya salah.

Tugas yang diberikan bukan tentang logika program, melainkan tentang menulis laporan yang bisa dibaca — dan dipahami — oleh manusia. Sebagai programmer, saya terbiasa berbicara dengan mesin: jelas, terstruktur, dan tanpa emosi. Tapi berbicara lewat tulisan untuk manusia? Itu dunia yang benar-benar berbeda.

Kebingungan itu membawa saya kembali ke kenangan lama — saat SMA, atau ketika saya belajar IELTS. Dulu saya pernah menulis artikel ilmiah, tapi pengalaman itu terasa sudah kabur. Namun satu hal yang saya ingat: dalam menulis, selalu ada struktur dan pola pikir tertentu. Sesuatu yang bisa dianalogikan seperti fondasi rumah, atau bahkan blueprint aplikasi.

Saya mulai bertanya: adakah cara menulis yang sistematis, seperti saat saya menulis kode?

Ternyata jawabannya ada. Kita hanya perlu tahu framework-nya — sebuah pendekatan berpikir yang bisa diulang, dipakai lintas konteks, dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Sebagai programmer, saya sudah terbiasa dengan alur seperti:

  • Ada input → diproses → menghasilkan output
  • Ada modularisasi, reusable functions, dan struktur logika yang jelas

Menulis, ternyata, bisa mengikuti logika serupa. Kalau kita tahu bagaimana menyusunnya, kita tidak perlu bingung memulai dari mana. Fokus kita cukup tertuju pada apa yang ingin disampaikan.

Framework Menulis yang Saya Pegang (Berbasis 5W+1H)

Setelah mencoba berkali-kali dan gagal di banyak kesempatan, saya akhirnya menemukan sebuah kerangka kerja yang selalu saya pakai setiap kali menulis — mulai dari laporan teknis, artikel opini, sampai email penting.

Kerangka ini saya susun berdasarkan prinsip klasik yang sangat familiar bagi siapa pun: 5W + 1H — Why, What, Who, Where, When, dan How.

  1. Why – Tujuan Tulisan
    Apa yang ingin saya capai lewat tulisan ini? Apakah ingin meyakinkan, menjelaskan, atau sekadar berbagi perspektif? (Mirip dengan mendefinisikan fungsi utama dari sebuah program)

  2. What – Jenis Tulisan
    Expository, argumentatif, naratif, reflektif, atau gabungan? Jenis ini seperti memilih tipe aplikasi yang ingin kita bangun: API, CLI, UI, dan sebagainya.

  3. How – Format atau Struktur Penulisan
    Apakah saya menggunakan format 5 Paragraph Essay? IMRaD? Problem–Solution? Ini seperti memilih struktur folder atau urutan logika program.

  4. Where + How to Present – Gaya Penyajian dan Media
    Apakah saya ingin menyampaikan ini dalam bentuk cerita personal, listicle, atau tutorial? Di blog pribadi, media sosial, atau laporan kantor? (Ini mirip pertimbangan desain UI/UX)

  5. Who – Audiens
    Siapa yang akan membaca tulisan ini? Apakah mereka teknikal? Umum? Seberapa dalam pengetahuan mereka soal topik ini? (Analogi sederhananya: tahu siapa user dari aplikasi yang kita buat)

  6. When – Waktu dan Kerangka Penulisan
    Apakah saya sudah membuat outline? Apakah waktunya tepat untuk mulai menulis? Outline ini seperti pseudocode — kerangka yang membuat proses lebih efisien saat mulai bekerja.

Contohnya, ketika belajar IELTS dulu, saya terbiasa menggunakan format 5 Paragraph Essay: satu paragraf pembuka, tiga paragraf isi yang masing-masing memuat satu ide utama, dan satu paragraf penutup. Kini saya tahu bahwa format itu bukan satu-satunya. Ada juga IMRaD untuk laporan ilmiah, struktur perbandingan, atau pola sebab-akibat. Namun intinya tetap sama: pilih format yang sesuai dengan tujuan dan konteks tulisan.

Dulu saya pikir menulis adalah soal bakat — sesuatu yang hanya dimiliki oleh “anak bahasa” atau orang-orang kreatif. Tapi ternyata, menulis juga bisa didekati secara logis dan sistematis, asal kita tahu strukturnya.

Sejak memahami hal ini, saya tidak lagi merasa canggung menghadapi tugas menulis. Bahkan kini, saya mulai melihat menulis sebagai cara lain untuk menyampaikan ide — bukan hanya lewat kode, tapi juga lewat kata-kata.

Kalau kamu juga pernah bingung harus mulai dari mana saat menulis, mungkin framework ini bisa jadi titik mula. Karena menulis, seperti ngoding, tetap membutuhkan logika, struktur, dan… sedikit keberanian.